You are currently browsing the monthly archive for Juli 2007.

(Catatan: lagi, ini tulisan permintaan. saya selesaikan menulisnya dalam waktu cepat, sekitar 1jam-an. tidak sempat diedit atau direnungkan dulu, mengingat dikejar deadline. apalagi, saya mengerjakannya dalam keadaan lelah, setelah terbang dari Jakarta ke Palembang. saya mengikuti pertemuan atau silaturahmi PDI Perjuangan dengan Partai Golkar di Palembang, pada saat artikel ini terbit. tentu, saya senang ada keputusan MK ini, karena sudah mendiskusikan soal ini sejak tahun 2003 dan 2004 ketika revisi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dilakukan. untuk mendorong calon perseorangan ini, saya ikut mendeklarasikan Gerakan Jakarta Merdeka bersama Fadjroel Rachman, Faisal Basri, Effendi Ghazali, dll. Terima kasih untuk Pak Lalu Ranggalawe yang telah mengajukan hak uji soal calon perseorangan ini.)

Suara Merdeka, 24 Juli 2007 

MAHKAMAH Konstitusi mengeluarkan keputusan populis yang sudah ditunggu masyarakat luas, yakni membolehkan kehadiran calon perseorangan sebagai peserta pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Semula, sesuai dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, peserta pilkada hanyalah partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat dukungan 15% kursi di DPRD atau 15% perolehan suara akumulatif dalam pemilu legislatif.

Dengan keputusan itu, berarti pilkada yang akan digelar di berbagai daerah, termasuk di Provinsi Jawa Tengah, wajib mengikutsertakan pasangan calon perseorangan atau calon independen. Tentunya ketentuan- ketentuan teknis pasangan calon perseorangan ini harus diatur lagi, baik melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai kepada Keputusan Komisi Pemilihan Umum.

Lalu, apakah dengan keputusan itu akan mengubur partai-partai politik secara perlahan? Ketakutan itu mungkin muncul, terutama dengan pengalaman pendek perjalanan demokrasi yang berbasiskan partai-partai politik sejak Pemilu 1999. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari 2007, hanya 23% dari masyarakat Indonesia yang menyatakan berafiliasi dengan partai-partai politik. Selebihnya lebih mempercayai kalangan lain, baik dari kelompok agamawan, kaum intelektual, ataupun perseorangan yang mempunyai profesi lain.

Hasil penelitian LSI itu tentu tidak bisa dijadikan acuan jangka menengah dan panjang. Bagaimanapun, kehadiran dan popularitas calon perseorangan bisa diuji pascapemilu 2004 dengan melihat proses pilkada yang diikuti oleh para calon yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebagaimana diketahui bahwa mereka dulunya adalah calon perseorangan yang tidak berafiliasi dengan partai-partai politik. Kenyataan yang bisa kita lihat adalah hampir seluruh anggota DPD RI itu gagal merebut posisi gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota, sekalipun juga didukung oleh partai-partai politik. Mereka dikalahkan oleh para calon populis lain yang didukung oleh partai-partai politik yang lebih jeli melihat para potensi seorang tokoh.

Kasus Aceh

Keberhasilan calon perseorangan di Provinsi Aceh harus dilihat dari kacamata berbeda. Bagaimanapun, Aceh adalah daerah bekas konflik. Pemberlakuan Aceh sebagai daerah operasi militer dalam keadaan darurat militer, sampai tertib sipil, telah menghilangkan kepercayaan kepada partai-partai politik nasional. Bukan hanya itu, struktur pemerintahan daerah juga tidak lagi dipercaya. Organisasi pergerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka dan Sentra Informasi Referendum Aceh lebih dipercaya memberikan perubahan. Sebagai daerah pasca-konflik, tentunya dinamika seperti itu masuk akal.

Keadaan itu berbeda dari daerah-daerah normal lainnya. Kehadiran partai-partai politik sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat. Keluarga-keluarga tertentu dikenal berafiliasi dengan partai-partai

politik yang sudah hadir sejak tahun 1955. Bahkan, partai-partai politik itu dikenal melahirkan kelompok oligarkis lokal yang sangat kuat, sehingga sulit untuk mengotonomkan dirinya menjadi bukan lagi bagian dari

partai-partai politik. Para anggota DPRD adalah bagian dari kelompok-kelompok sosial dan kekuatan ekonomi lokal yang sudah memiliki basis partai politik yang kuat.

Sehingga, menjadi aneh kalau ketakutan atas hilangnya partai-partai politik dijadikan sebagai rujukan. Ketakutan itu justru menjadi tidak beralasan, kalau kita melihat konstruksi sosial, ekonomi dan politik di

Indonesia. Belum lagi pada satu kenyataan yang harus terjadi, yakni seorang kepala daerah terpilih tidak akan bisa menjalankan program-programnya, apabila tidak bekerja sama dengan DPRD dalam legislasi, anggaran dan pengawasan.

Kesulitan Bupati Banyuwangi terpilih yang tidak didukung oleh partai politik yang ada di DPRD menunjukkan bagaimana rumitnya ìcalon perseoranganî menempatkan dirinya. Berpindahnya Gubernur Bengkulu terpilih

untuk beralih kepada Partai Demokrat, bukan bertahan pada Partai Keadilan Sejahtera yang mendukungnya, memperlihatkan kegamangan calon perseorangan dalam melajukan biduk pemerintahannya.

Kenyataan itu tentu berbeda dari Aceh. Kemampuan pasangan calon perseorangan untuk bekerja sama dengan DPRD harus diletakkan kedalam bingkai ìpertempuran yang belum selesai.î Calon perseorangan hanya mengikuti pilkada pada tahun 2006 lalu, karena nanti harus lewat partai politik, baik lokal atau nasional. Partai-partai nasional yang menguasai DPRD masih berharap dengan sikap politik akomodasionis mereka itu, simpati yang dulu didapatkan oleh pasangan calon perseorangan yang kemungkinan membentuk partai politik lokal, justru akan bisa dialihkan kepada partai-partai nasional. Partai-partai nasional tinggal menunggu waktu, apakah pasangan calon perseorangan yang menjadi kepala daerah sekarang mempunyai kesanggupan menjalankan dan memimpin pemerintahan.

Partai Politik Lokal

Tentu, kita akan melihat ìdrama konstitusionalî berikutnya, yakni adanya afiliasi yang dijalin oleh calon perseorangan yang ñ seandainya menang ñ akan bekerja sama dengan DPRD. Mengingat tulang belakang

(backbond) sistem politik Indonesia adalah partai-partai politik, justru menjadi mustahil apabila calon perseorangan itu akan berjalan sendirian.

Selain itu, kian menjadi besar keinginan untuk mengajukan hak uji yang sama atas UU No. 32/2004 terutama menyangkut kehadiran partai-partai politik lokal.

Barangkali, kita tidak akan terkejut lagi, apabila nanti Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa partai politik lokal akan menjadi peserta pemilihan umum DPRD dan pilkada. Para kontestan politik akan semakin

banyak dan beragam, sehingga rakyat makin terpuaskan akan sumber-sumber kepemimpinan politik.

Bagi negara-negara yang sudah mapan sistem dan prosedur politiknya, kehadiran calon perseorangan hanya bersifat penyeimbang untuk isu-isu minoritas, misalnya masalah lingkungan hidup, hak-hak binatang, bahkan juga pilihan atas lesbianisme dan homoseksualitas. Isu-isu itu juga bisa bergeser kepada hak-hak masyarakat adat, tanah ulayat, aliran kepercayaan, sampai kepada pengakuan atas mitologi tradisional yang dimiliki oleh beragam kebudayaan lokal di Indonesia. Jarang calon perseorangan menjadi pemenang permanen, karena bagaimanapun negara sebesar Indonesia tidak bisa diurus sendirian.

Keputusan Mahkamah Konstitusi hanya bisa diletakkan kepada pemberian hak atas para individu masyarakat sebagai peserta pilkada, bukan palu godam yang akan meremukkan partai-partai politik. Jadi, kenapa takut kepada calon perseorangan?

Serambi Indonesia, 21 Juli 2007  

Masalah di tanah Aceh kembali mengemuka dalam pentas politik nasional, ketika Partai GAM dideklarasikan. Pasca notakesepahaman di Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan Pilkada di Aceh pada 11 Desember 2006, Aceh tidak lagi menjadi sumber informasi yang menarik. Justru perhatian diberikan kepada komponen masyarakat dan daerah lain, seperti Papua dan Maluku. Pengibaran bendera benang raja oleh para penari di Ambon dan bendera bintang kejora di Jayapura, langsung mendapatkan tanggapan oleh tokoh-tokoh nasional.  

Barangkali, yang lebih penting dipikirkan adalah bagaimana menata masa depan Aceh, justru setelah para combatan turun gunung. Selain itu  bagaimana meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dari para penyelenggara pemerintahan Aceh yang selama ini bergelut dengan senjata, perang propaganda, intelijensi, sampai pada pola advokasi dalam era konflik. Perdamaian harus diisi oleh para teknisi, insinyur, tukang bangunan, para nahkoda kapal laut, serta tentu bukan diserahkan lagi kepada para filosof. Namun, benar juga kalau dalam mengisi ruang-ruang politik, para politikus menjadi bahan bakunya.  

Pilkada Aceh menjadi barometer untuk mengukur proses institusionalisasi politik di Aceh. Sayangnya, sampai sekarang masih terdapat satu pilkada yang bermasalah, yakni di Aceh Tenggara. Proses pilkada Agara itu menunjukkan tali-temali hubungan yang rumit, ketika penyelenggara pilkada saling menyalahkan dan mengalahkan. Menjadi unik kalau masing-masing penyelenggara pilkada mengesahkan hasil pilkada secara berbeda.  

Padahal, kalau diperhatikan, penyelenggara pilkada pada masing-masing tingkatan, yakni kabupaten, kota dan provinsi, adalah bagian yang terpisah. Komisi Independen Pemilihan adalah unsur yang ditunjuk oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pilkada pada satu daerah, sebagaimana dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah lainnya. Sehingga, mustahil ada intervensi antara satu penyelenggara pilkada terhadap penyelenggara pilkada lainnya terlebih dengan menggunakan pasal karet atau alasan pelanggaran kode etik yang dipaksakan.  

Kalaupun ada pengaturan tentang hubungan struktural dan hirarkis antara Komisi Pemilihan Umum dengan KPU Provinsi, KPU Kabu aten dan KPU Kota, sesuai dengan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, masih menjadi perdebatan apakah pilkada adalah bagian dari pemilu. Begitupun, ketentuan dalam UU No. 22/2007 belum bisa disambungkan dengan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengingat UU No 22/2007 belum memiliki peraturan operasional lain, misalnya Peraturan Pemerintah dan Keputusan-keputusan KPU.  

Penyelesaian masalah pilkada di Kabupaten Agara adalah bagian dari upaya memberikan jalan bagi perwujudan cita-cita peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Bagaimanapun, Agara harus bergerak beriringan dengan komponen masyarakat daerah Aceh lainnya. Penyelesaian secara yuridis pada ranah yudikatif menjadi pilihan, apabila masih ditemukan persoalan. Hanya saja, keputusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh dimaknai secara berbeda oleh pihak yang bertikai. Padahal, keputusan itu sudah secara jelas menyerahkan kepada proses pilkada yang dilakukan oleh KIP Agara, bukan oleh keputusan-keputusan lain di luarnya.   

***  

Persoalan separatisme bagi Indonesia adalah masalah serius, mengingat besarnya kelompok masyarakat yang memiliki imajinasi dan ingatan kolektif tentang penjajahan, juga pidato-pidato anti kolonialisme yang pernah disampaikan oleh Soekarno. Indonesia adalah negara yang disinggahi oleh begitu banyak kata tentang nasionalisme.

Sehingga, separatisme sering berhadapan dengan nasionalisme di jalan-jalan, gunung-gunung, atau pinggir-pinggir sungai. Begitu juga dalam pamflet, mimbar-mimbar orasi, bahkan sidang-sidang resmi negara yang hanya berjarak beberapa meter dari antrian kaum ibu mendapatkan minyak goreng.  

Apabila kelompok-kelompok masyarakat di Aceh, Papua dan Maluku terus menggencarkan bahasa-bahasa yang berbeda dengan tone yang disusun oleh Jakarta, maka akan banyak dari kaum ibu yang sulit membeli seliter beras itu pergi ke jalanan, lantas berteriak menghujat kelompok-kelompok yang berbeda itu. Hujatan atas bendera bulan sabit, benang raja atau bintang kejora lebih memiliki daya tarik, ketimbang mengatakan betapa tidak menariknya pola-pola penyelenggaraan negara.

Hal inilah yang menyebabkan konsolidasi di tingkat masyarakat atas masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari menjadi sulit.  Ketimbang memberikan perhatian yang berlebih atas perdebatan menyangkut separatisme, para penyelenggara negara dan pemerintahan sebaiknya menyelesaikan masalah-masalah yang tersisa dari implementasi UU PA.

Salah satunya adalah memutuskan tentang siapa bupati dan wakil bupati Agara terpilih. Departemen Dalam Negeri tentu memiliki kriteria dan parameter dalam memutuskan permohonan pihak mana yang akan diloloskan. Keputusan Depdagri itu akan menjadi bagian penting dari proses institusionalisasi di Aceh. Sementara itu Pemerintah Aceh sebagai fasilitator diharapkan lebih komunikatif dengan pihak-pihak berseteru untuk menentukan jalan keluar, ketimbang menentukan sendiri siapa pemenang Pilkada yang memang bukan domainnya.  

Tentu, selain masalah Agara, masih banyak terdapat persoalan di Aceh. Implementasi UU PA, misalnya, sebetulnya bisa dijalankan secara cepat, apabila DPR Aceh mampu melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait. Qanun menyangkut kesehatan, misalnya, bisa dilakukan bersama-sama dengan stakeholders terkait di bidang kesehatan. Tidak perlu lagi dilakukan proses penggalian data, penyusunan pasal dan ayat, oleh anggota DPRA, apabila para ahli yang terbiasa dengan urusan itu sudah memberikan usulan awal.  

Upaya menjalankan sistem pemerintahan Aceh yang baik tidak bisa dijalankan, hanya dengan cara mengisolasi proses politik dan pemerintahan itu secara terbatas. Apalagi, Aceh sudah terbantu dengan kehadiran begitu banyak sumberdaya manusia dari luar Aceh berikut anggaran, terutama dalam melakukan rekonstruksi pasca-tsunami.

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintahan di Aceh memerlukan kalangan lain. Maka, pemerintah pusat sebaiknya juga terus melakukan dialog dengan komponen masyarakat dan pemerintahan Aceh, bukan menyampaikan pesan-pesan politik secara monolog lewat televisi.  

Sudah saatnya kita melihat masa depan Aceh dalam lindungan perdamaian abadi, bukan malah memundurkan ke belakang lewat upaya sistematis mengembalikan perang. Dengan cara itu, Aceh harus berbenah, serta Jakarta juga layak secara tegas dan lugas menyampaikan keputusan-keputusannya, dengan cara dialogis.

Sistem negara Republik Indonesia yang sedang bekerja di tanah Aceh dan pembentukan Pemerintahan Aceh yang belum sempurna meniscayakan adalah kerelaan hati pada masing-masing pihak…. 

http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1101

Dia datang, pada suatu pagi, ke hadapan algojo itu. “Berikan aku luka. 35 luka lagi!” katanya, sambil membuka bajunya.Di tubuhnya, sekuyur badannya, sudah ada 265 luka.            

(kain hitam terbentang, pada sosok hitam, berbaju hitam itu. Dua bolamatanyapun hitam, tersembunyi pada tutup kepala itu) 

Sinarmataharipun tak menyengat. Tertutup awan hitam. Pagi yang berubah menjadi hitam.  

“Berikan, kepadaku, seluruh luka-luka itu. Yang kau tebaskan kepada tubuh anak-anak muda itu, dengan cambukmu yang memerah dialiri bekas-bekas darah..” 

Ia berlutut. Ada sinar putih keluar dari kelopak matanya yang mengalir dari hatinya… Ia bersujud, setengah tengadah, mengatupkan kedua telapak tangannya, membentuk garis-garis zaman, dalam tapa Sidharta Gautama. Tapi, tidak ada pohon Bodi disana, yang melindungi dari sinar matahari, desau hujan, dan lalu lalang binatang-binatang liar dan buas. 

(Tangan sang algojo terangkat. Tanpa cambuk. Urat-urat kekar itu mengendur. Nafasnyapun teratur. Ia melihat, dirinya, pada pemuda itu.) 

Seekor belalang, tanpa kaki belakang, hinggap pada punggung pemuda itu. Tersaruk-saruk ia membawa tubuhnya. Hawa segar, dari pori-pori tubuh pemuda itu, membuatnya terlelap. Andai ia dulu, menjadi kepompong, pada punggung pemuda itu…  

Dua ekor rajawali, yang sedang berburu, bertengger pada tiang gantungan itu. Nanar manatap pada sang belalang. Dan pada padang ilalang di belakang algojo itu, kelinci-kelinci berlari, anak-anak ayam bercericit, riang. 

(Sang algojo tak juga hendak menurunkan tangannya. Ia menunjuk pada papan itu, huruf-huruf itu, kalimat-kalimat padang pasir yang baru saja ditulis, setelah menempuh perjalanan waktu, lima belas abad lebih, dalam angka Hijriyah. Tertulis: “Ini bumi Serambi Mekkah.”) 

Wajah pemuda itu tetap tengadah. Ia tahu, ada jutaan lanun datang tiba-tiba, pada malam itu. Malam pertemuan para malaekat dan 200.000 lebih nyawa. Malam ketika anak-anak mendekap ibunya, ibu-ibu mendekap anaknya, lalu berdua menyerahkan jiwa-jiwa mereka. 

Lalu, jutaan mata meneteskan air-mata. Bergalon-galon air mata. Berton-ton tinta mengaliri lembaram-lembaran koran, majalah dan buku. Milyaran watt mengirimkan pesan-pesan nirkabel. 215 luka hinggap di tubuh pemuda itu. Ia tenggelam, terombang-ambing, pada sela-sela kayu, tumpukan puing. Ia tersayat, teriris, tanpa rintihan. Ia bangkit, berjalan, memunguti anak-ibu yang berdekapan, pada air hitam itu. “Berikan aku luka. 35 luka lagi,” katanya. Ia sudah mencari, pada semak-semak berduri, batu-batu pecah, beling-beling berantakan pada areal pengungsian itu. Ia hanya dapat beberapa luka, tak seberapa, 30 jumlahnya. 

Ia hempaskan kepalanya, berkali-kali, pada aspal hitam itu. Tapi hanya 1 luka yang menganga. Bertetes-tetes darah telah mengalir, mengental, lalu hilang, lenyap, ditelan matahari.  

(Dan sang algojo mengangkat tangannya, lebih tinggi lagi, makin tinggi. Seluruh energi disalurkan kepada gagang pedang itu. Jutaan rasa dipompakan pada urat saraf, bulu-bulu yang menegang…) 

“Allahu Akbar! Tes…..” Sepotong kepala menggelinding. Di hadapan pemuda itu. Tertutup topeng hitam. Hanya hening menyapa. Rajawalipun tafakur. Belalang berzikir.  Dua tangan pemuda itu meraihnya, membuka topeng itu. Berdegup ia. Terkesiap ia.  Ia berteriak:

“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!!!” Jakarta, pada dua hari yang hitam, Juli 2007…

(catatan: ini saran dari teman sekelasku, Anuri. dia katakan, agar aku menulis dalam keadaan apa dan karena apa aku menulis kolom. dia belajar jurnalisme presisi, sosiologi media, dll. wah, ini menarik. baik, kutulis sedikit. kolom ini bernama “kolom permintaan”, alias diminta oleh Majalah ADIL, berikut temanya, lewat sms. karena tema laporan utama soal Surya Paloh, aku tulis kolom ini. nah, kenapa judulnya “politik Rajawali”? setiap kali ke Metro TV atau Media Indonesia, aku “terpana” melihat begitu anggun dan gagah patung Burung Rajawali yang menghiasi kantor yang termasuk paling megah untuk ukuran media itu. ada tulisan Surya Paloh juga pada dinding, tetapi aku lupa mencatatnya, tentang filosofi Rajawali ini. setelah membaca edisi cetaknya, ada satu bisnis Paloh lagi yang lupa kutulis, padahal sudah ada dalam “data impuls sarafku”, yakni bisnis catering. sekian, dan semoga berguna bagi Anuri dan yang lain)…

Majalah Adil, 12-25 Juli 2007, hal 16-17 

Dengan dalih silaturahmi, dua petinggi partai politik bertemu di Medan, berikut jajaran inti kepengurusan, yakni Partai Golkar dan PDIP. Dua tokoh penting itu adalah Surya Paloh dan Taufik Kiemas. Publik mengenal keduanya sebagai pengendali Partai Golkar dan PDIP. Sekalipun tidak menempati posisi sebagai ketua umum (eksekutif), Paloh adalah tokoh yang mengusung Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan sekaligus menunjukkan kedekatan politik dengan Susilo Bambang Yudhoyono.  

Paloh adalah generasi pengusaha yang berbondong-bondong memasuki dunia politik, setelah Sooeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998. Ia memiliki keberanian politik, sekaligus kejeniusan dalam mengembangkan perusahaan penerbitan, sampai jaringan hotel. Pada masa Orde Baru, media yang dimilikinya, yakni Prioritas, pernah dibreidel oleh rezim. Tetapi, Paloh tidak patah arang, serta terus melangkah dengan beragam bisnis.  

Lewat Media Group, yakni Metro TV, Media Indonesia dan Lampung Post, Paloh menjadi kekuatan bisnis penerbitan dan penyiaran nasional. Pilihan-pilihan posisi Media Group terpancarkan lewat editorial-editorial di Media Indonesia, sekaligus juga dipancarkan lewat informasi Metro TV. Editorial itu memberikan tekanan-tekanan tertentu atas persoalan atau isu yang disorot, sehingga sering dikatakan sebagai perspektif dari pemiliknya, Surya Paloh. Beberapa program televisi populer, seperti Republik Mimpi dan Kick Andi, juga dianggap sebagai representasi sosial dan politik dari pemiliknya. Tidak heran kalau media lain menghubungkan “kegagalan” Paloh sebagai anggota dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden akibat “penolakan” Paloh menghentikan tayangan Republik Mimpi yang banyak menyindir  para pejabat negara.  

Paloh juga pernah dikalahkan oleh Wiranto dan Akbar Tandjung dalam pemilihan calon presiden Partai Golkar. Prosesi yang dikenal sebagai Konvensi Nasional itu melibatkan para calon seperti Akbar, Wiranto, Aburizal Bakrie, Paloh, dan Prabowo Subianto. Kekalahan Akbar dalam putaran kedua pemilihan disinyalir berasal dari “pelarian” suara pendukung Paloh ke Wiranto. Namun, dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar di Bali, justru Wiranto dan Akbar yang dikalahkan oleh Paloh, beserta tujuh orang tokoh kuat lain yang disebut Akbar sebagai “delapan penjuru angin”, yang mendukung Kalla.  (Nama-nama delapan pengusaha quasi politikus itu, menurut informasi yang kuperoleh, adalah Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Fadel Muhammad, Ginandjar Kartasasmita, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Siswono Yudhohusodo dan Surya Paloh. Ada juga yang menyebut bukan Fadel, tetapi Aksa Machmud, ipar Jusuf Kalla. Ijp).

Dalam model politik yang berlangsung secara tidak beraturan, langkah Akbar membentuk Koalisi Kebangsaan sejak pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua – sebagaimana diketahui, Partai Golkar mendukung Megawati Soekarnoputri, setelah Wiranto terpental dalam putaran pertama – sampai perebutan pimpinan DPR, justru tidak diminati Paloh. Koalisi Kebangsaan berantakan, setelah partai-partai pendukung Yudhoyono-Kalla membangun Koalisi Kerakyatan. PDIP memilih oposisi, sementara Golkar beralih mendukung Yudhoyono. Hanya saja, ketika Akbar mulai kembali mendapat tempat pada sisi Yudhoyono, justru Paloh dan Golkar bermain mata dengan PDIP.  

Poros Para Tokoh 

Potret itu memerlihatkan betapa langkah Paloh di Medan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Itu hanyalah model paling sederhana dalam politik di Indonesia, terutama yang digerakkan oleh para aktor-aktor yang terbatas sejak 1999. Upaya mengangkat Abdurrahman Wahid sebagai presiden, mencampakkannya di tengah jalan, membangun komitmen kepada Megawati, lantas beramai-ramai menistakan model pemerintahannya, sering dilakukan oleh orang yang sama.

Jadi, tidak ada jalan yang lurus bagi tokoh-tokoh itu. Ketika satu langkah sedang dijalankan, maka persiapan dan skenario langkah-langkah alternatif lain sebetulnya sedang dikerjakan, baik secara simultan atau paralel, maupun sebagai rencana cadangan.  

Paloh termasuk aktor yang jeli melihat beragam peluang perubahan itu. Dan ia sudah melakukan sejak Orde Baru masih menjadi kekuatan dominan, represif dan otoriter. Sikap kritis yang Ia bangun, sekaligus juga diikuti dengan langkah-langkah lain dengan cara menyusun FKPPI. Paloh tidak lantas menjadi seorang fatalis atau ideolog politik murni, dengan cara berpegang teguh pada posisi politik tertentu. Ia terlihat menyukai dinamika, bukan kelembaman.

Kehadiran Media Indonesia Minggu yang “menampung” para anak-anak muda dan jurnalis kritis pada masa Orde Baru, telah menunjukkan bagaimana Paloh mengelola perbedaan pendapat, sekaligus melakukan manajemen konflik dengan baik.  

Lalu, ada apa dibalik agenda Medan, selain hanya berputar-putar pada persoalan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945? Satu hal yang mulai menguat sekarang adalah terbangunnya kesadaran tentang “persaingan Sumatera” di kalangan para elite politik. Terlepas dari isu primordial yang terbangun, sudah menjadi pakem politik Indonesia moderen betapa antara RI-1 dan RI-2 haruslah gabungan dari Jawa-Luar Jawa. Suara-suara itu muncul hampir pada semua elite politik, termasuk ucapan bahwa orang diluar Jawa tidak mungkin menjadi presiden. Pakem ini mirip dengan jabatan Perdana Menteri di Kanada yang harus berasal dari Quebec.  

Pengganti Hatta-Malik 

Pertarungan elite-elite Sumatera inilah yang kini mengemuka. Paloh dan Kiemas adalah tokoh politik yang berasal dari Sumatera, selain tokoh-tokoh seperti Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Akbar Tandjung, Ryamizard Ryacudu, dan Jimly Assidique. Mereka sudah melewati batas-batas tokoh-tokoh lokal-primordial. Nama-nama ini akan bersaing menjadi calon wakil presiden ketiga setelah Muhammad Hatta (di bawah Presiden Soekarno) dan Adam Malik (di bawah Presiden Soeharto). Barangkali, di antara mereka juga akan bersaing menjadi calon presiden.  

Terdapat satu nama yang pernah menjadi simbol Sumatera-Jawa, yakni Megawati Soekarnoputri. Megawati sampai hari ini masih menjadi pesaing utama Yudhoyono untuk merebut posisi presiden untuk kedua-kalinya. Kalaupun terdapat nama-nama selain tokoh-tokoh yang berasal dari Sumatera itu, terdapat juga Jusuf Kalla, Din Syamsuddin, Agung Laksono dan Hidayat Nurwahid yang potensial menjadi calon Presiden dan atau Wakil Presiden.  

Memang, terdapat nama-nama lain yang mengemuka sebagai calon presiden, seperti Wiranto, Sutiyoso, atau bahkan juga Sultan Hamengku Buwono X dan Prabowo Subianto. Tetapi belum begitu banyak kerumunan orang-orang politik di sekitar mereka, mengingat eksistensi partai politik yang akan mendukung belum begitu terlihat. Sejumlah partai politik yang lahir belakangan ini disinyalir mencoba mendukung proses itu, tetapi harus melewati proses verifikasi administratif dan faktual oleh Komisi Pemilihan Umum.  

Paloh, sadar atau tidak, sebetulnya sudah mulai mengangkat nama-nama tokoh ke permukaan sebagai calon pemimpin dari generasi lama. Ia juga memberi jalan bagi publik untuk melakukan inventarisasi, evaluasi dan juga proyeksi, jauh sebelum proses seleksi kepemimpinan nasional dilakukan. Barangkali, Ia ingin menghindari kesan ketiba-tibaan, yakni hanya karena kesalahan ucap Taufik Kiemas – misalnya –, popularitas seseorang lantas menanjak naik.  

Seperti seekor rajawali, sebagaimana ikon perusahaan yang dia pimpin, Paloh terus mengawasi setiap wilayah perburuan politiknya, dengan tatapan mata nyalang dan suara menggelegar. Paloh memainkan politik rajawali, yakni berburu di waktu siang hari, ketika banyak pihak sedang bekerja dengan kewaspadaan penuh. Ciri-ciri ke-Acehan, dengan sikap yang luwes, tetapi juga penuh trik, serta keterbukaan berpikir, telah membantunya untuk mengenali persoalan politik secara lebih baik. Ciri-ciri itu juga mirip dengan yang dimainkan oleh Kiemas dan Kalla.

Sehingga, politik keterbukaan dan komunikasi langsung yang dilakukan oleh Kiemas dan Paloh, seharusnya tidak dicurigai sebagai langkah politik yang penuh tipu muslihat.  “Ini Sumatera, Bung! Mari, Bung, rebut kembali!” Barangkali hentakan kalimat itu yang tidak sempat mereka ucapkan…. 

(Catatan: semula, aku tidak berminat menjadi calon anggota KPU dan ikut seleksi. namun, dalam perjalanan seminar dan diskusi yang kuikuti di Padang, Medan, Bengkulu, Lampung, dan kota-kota lain, terasa sekali ada desakan dari anak-anak muda agar aku menyalonkan diri. Sejumlah  tokoh, sahabat, dan aktivis juga secara aktif memintaku maju. hanya dua hari persiapan, akupun menyerahkan formulir pendaftaran, tepat pada menit terakhir pendaftaran ditutup. ini berita dari www.kpu.go.id)

Senin 9 Juli 2007 13:21 WIB
TEST CALON ANGGOTA KPU 14 JULI 2007 270 Orang Lulus Seleksi Administrasi

Jakarta, Kpu.go.id. Tim Seleksi Anggota KPU mengumumkan Hasil Penelitian Administrasi bakal calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), hari Senin (9/7). Dari 523 orang yang mendaftar hanya 270 orang yang dinyatakan lulus dalam tahap kedua atau tahap Penelitian Administrasi yang berlansgung pada tanggal 2 s/d 8 Juli 2007.Pengumuman ini berdasarkan Surat Nomor 07/TS-KPU/VII/2007 tanggal 9 Juli 2007 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Seleksi Calon Anggota KPU Prof. Dr. H.M. Ridwan N. Masir, MA.

Wakil Ketua KPU Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA dan Anggota KPU Dr. Valina Singka Subekti, MA, dinyatakan lulus oleh Tim Seleksi, dengan nomor urut pendaftaran 459 dan 513. Beberapa nama kondang yang juga dinyatakan lulus seleksi administrari antara lain, Didik Supriyanto, Dr. Anhar Gonggong, Indra Jaya Piliang, Hadar Nafis Gumay. Bambang W. Soeharto dan Progo Nurdjaman.

Diantara nama-nama yang lulus dalam penelitian administrasi dari 39 orang Ketua, Anggota dan mantan Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota hanya 31 orang yang dinyatakan lulus, sebagai berikut :

  1. R. Efesus Nyarong SH, MA, Anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat (No. Urut 001)
  2. Syamsul Bayar, SH, MH, Anggota KPU Provinsi DI. Yogyakarta (No. Urut 004)
  3. Dr. Suwondo, MA, Anggota KPU Provinsi Lampung ( No.Urut 015)
  4. Dra. Sri Zul Chairiyah, MA, Anggota KPU Provinsi Sumatera Barat ( No. Urut 026)
  5. Dra. Suraya Khusnaniyati, Anggota KPU Kabupaten Nganjuk Jatim (No. Urut 027)
  6. I Gusti Putu Arta, SP. M.Si, Anggota KPU Provinsi Bali (No. Urut 039)
  7. Abdul Rasyid , Anggota KPU Provinsi Jambi (No. Urut 040)
  8. Hj. Any Raohyati, SE, M.Si, Anggota KPU Provinsi DI. Yogyakarta (No. Urut 047)
  9. Dr. Adma Suganda, SH, M.Si, Mantan Ketua KPU Kabupaten Sumedang Jabar (No. Urut 057)
  10. Ir. Elvyani NH Gafar Rachmadi, Anggota KPU Provinsi Kalimantan Timur (No. Urut 108)
  11. Dr. KHM. Handam Rasyid, MA, Anggota KPU Provinsi DKI Jakarta (No. Urut 112)
  12. Razaki Persada, SE. M.Si, Anggota KPU Provinsi Kepulauan Riau (No. Urut 119)
  13. Drs. H. Salimuddin, MM, Anggota KPU Kota Tangerang Banten (No. Urut 133)
  14. Drs. Affan Sulaeman, MA, Anggota KPU Provinsi Jawa Barat (No. Urut 146)
  15. Zulfadli, Ketua KPU Kota Depok Jabar (No. Urut 147)
  16. H. Hoesny Hasan, SE, Anggota KPU Kabupaten Kerinci Jambi (No. Urut 168)
  17. Dra. Nur Azizah, M.Si, Anggota KPU Provinsi DI. Yogyakarta (No. Urut 192)
  18. Achmad Tarmizi Gumay, SH, Ketua KPU Kabupaten Kaur Bengkulu (No. Urut 196)
  19. Prof. Dr. M. Jafar Haruna, MS (Ketua KPU Provinsi Kalimantan Timur (No. Urut. 213)
  20. Muhamad Wahyudi Nafis, MA, Anggota KPU Provinsi Banten (No. Urut 217)
  21. Nasrulla, SH, Anggota KPU Provinsi DI Yogyakarta (No. Urut 218)
  22. Zainal Abidin Saleh, SH, MH, Anggota KPU Kota Jakarta Pusat DKI Jakarta (No. Urut 255)
  23. Muflizar, Anggota KPU Provinsi DKI Jakarta (No. Urut 289)
  24. Laode Harjudin, S.Pd,. M.SI, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara (No. Urut 314)
  25. Drs. Wahyudi Purnomo M. Phil, Anggota KPU Provinsi Jawa Timur (No. Urut 346)
  26. M. Darwis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Selatan (No. Urut 351)
  27. Drs. Anshari, M.Si, Anggota KPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (No. Urut 450)
  28. Ir. Didie Hayat W, ketua KPU Kabupaten Temanggung Jateng (No. Urut 458)
  29. Muhammad Yulianto, Anggota KPU Kabupaten Magelang Jateng (No. Urut 468)
  30. Hasnah Aziz, Anggota KPU Kota Tangerang Banten (No. Urut 503)
  31. M. Djufri Rochim, SP, M.Si, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara (No. Urut 522).Nama-mana yang telah dinyatakan lulus oleh selanjutnya akan mengikuti Seleksi Tertulis yang akan dilaksanakan hari Sabtu tanggal 14 Juli 2007 Pukul 07.30-16.30 Wib, bertempat di Hotel Millenium Sirih Jl. Fahrudin 3 Jakarta Pusat. Peserta Diminta hadir 30 menit sebelum seleksi dimulai dengan membawa pensil 2B, bollpoint serta Identitas Diri asli (KTP).
    (Drika/Redaktur)

SUARA PEMBARUAN DAILY


Wacana Referendum di Aceh

Kajian Lemhannas Spekulatif

[JAKARTA] Hasil kajian Lemhannas soal keinginan GAM untuk memerdekakan diri lewat referendum setelah menguasai parlemen, dinilai terlalu spekulatif. “Bahkan hasil kajian seperti itu hanya imajinasi dari nasionalisme yang diterapkan di Jakarta,” ujar pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Indra J Piliang kepada SP di Jakarta, Rabu (11/7).

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata membantah adanya kajian yang diberikan pada pemerintah mengenai keinginan GAM menggelar referendum untuk melepaskan diri dari NKRI. “Tidak ada. Tanya yang buat kajian,” kata Andi di Jakarta, Selasa (10/7).

Sebelumnya, Senin (9/7), Gubernur Lemhannas Muladi di sela-sela rapat kerja dengan Komisi I DPR, mengungkapkan, kajian mengenai tujuan pendirian partai politik lokal di Aceh untuk menguasai parlemen dengan tujuan akhir melepaskan diri dari NKRI melalui referendum, sudah diserahkan kepada Presiden Yudhoyono.

Menurut Indra, kehadiran Partai GAM dan simbol-simbol GAM adalah bagian dari proses integrasi mereka dengan NKRI. Sebab Partai GAM itu lahir dari UU No 11/2006, sebuah UU yang dilahirkan Pemerintah RI. “Kecemasan akan adanya referendum setelah kelompok GAM menguasai parlemen di Aceh tidak beralasan, karena referendum itu tidak diatur dalam UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Referendum itu adalah gerakan politik. Kehadiran Partai GAM tidak perlu dikhawatirkan, tetapi cukup diikuti prosesnya,” katanya.

Untuk itu, institusi-institusi negara di Aceh, baik sipil maupun militer, harus berperan aktif dalam mengikuti proses yang sedang dilakukan GAM. “Kalau kita masih setengah hati mengikuti proses itu, maka yang harus dicurigai adalah Jakarta, karena resistensi yang sangat tidak wajar,” tegas Indra.

Selaras dengan Indra, pengamat politik dari UI, Boni Hargens, Rabu pagi, menegaskan bahwa referendum tidak bisa dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah, termasuk oleh daerah otonom sekali pun. Keputusan untuk referendum adalah hak Presiden bersama DPR terkait masalah kebijakan atau isu-isu tertentu yang tidak disepakati antara Presiden dengan DPR kemudian mereka meminta pendapat masyarakat melalui referendum.

Lebih lanjut Boni berkomentar, hasil kajian Lemhannas soal kemungkinan Aceh merdeka dengan cara referendum adalah sebuah tuduhan politik. Meskipun kondisi riil di Aceh menunjukan kemerdekaan itu yang mau dicapai kelompok GAM. Kelompok GAM, katanya, akan memanfaatkan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Perjanjian Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan GAM untuk mencapai tujuan itu. Ia melihat, perjanjian Helsinki dan UU No 11/2006 adalah kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan masalah Aceh. Sebab, apa yang dilakukan pemerintah itu hanyalah target politik dan bukan penyelesaian masalah Aceh secara substantif.

Harus Ditumpas

Sementara itu, Gubernur Lemhannas Muladi, di kantor Wapres, Selasa, kembali menegaskan, GAM harus ditumpas, tetapi bukan dengan kekuatan militer melainkan dengan penegakan hukum oleh aparat kepolisian. Pemerintah diminta untuk tidak boleh menggunakan standar ganda dalam mengatasi gerakan separatisme di Indonesia.

Senada dengan Muladi, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Syarif Hasan, Selasa mengatakan, tanpa hasil kajian intelijen pun, adanya keinginan memerdekakan Aceh bisa dilihat secara kasat mata di Aceh. “Pengamatan saya di sana ketika menghadiri pelantikan Wali Kota Sabang, lagu kebangsaan Indonesia Raya tidak dikumandangkan. Sampai sekarang emblem-emblem dan pin-pin GAM masih bertebaran di Aceh. Pin GAM dikenakan para mantan GAM untuk mencari proyek ke instansi-instansi, tetapi pemerintah tidak berani menolak. Saya pernah komplain pada Gubernur Aceh soal itu,” katanya.  

Anggota Komisi I DPR dari FPDI-P, Permadi, memperkuat temuan Syarif. Ia mengatakan, dari hasil kajian intelijen memang telah disebutkan adanya indikasi lagu Indonesia Raya tidak boleh dikumandangkan di Aceh. [A-21/B-14]


Last modified: 11/7/07

Seputar Indonesia, 8 Juli 2007

Panitia khusus DPR RI tentang perubahan paket undang-undang bidang politik sudah dibentuk. Empat undang-undang diselesaikan secara paralel oleh dua pansus. Dari beragam kepentingan yang terjadi, terdapat perbedaan-perbedaan variasi antara partai-partai politik dalam menyikapi agenda-agenda perubahan itu. Perdebatan itu melibatkan tiga kelompok partai politik. 

Pertama, PDIP dan Golkar terlihat mencoba untuk menyederhanakan sistem politik. Sebagai partai terbesar, keduanya berusaha untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya “penyederhanaan” partai dengan cara memperbesar ketentuan menyangkut electoral threshold, bahkan kalau perlu dengan menyantumkan parliament threshold. Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla berulang-kali menjelaskan bahwa sistem multi-partai menyebabkan efektifitas pemerintahan berjalan tidak maksimal.  

Selain itu, kedua partai ini mencoba menaikan jumlah persyaratan pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden, dengan harapan pemilihan itu hanya diselesaikan dalam satu putaran. Upaya ini masuk akal, terutama melihat implikasi dari kemenangan Yudhoyono-Kalla dalam pilpres 2004 yang juga memunculkan fariasi peta dukungan partai politik pada putaran kedua.

Ketentuan lain yang juga diperdebatkan adalah menyangkut sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut. Menurut kedua partai ini, ketentuan itu hanya bisa berlaku bagi calon anggota legislatif yang berhasil memeroleh 25% dari bilangan pembagi pemilih. Kalau gagal, maka para calon terpilih ditentukan oleh nomor urut dalam satu partai.  

Kedua, Partai Demokrat, PAN, PPP, PKS dan PKB yang masuk kategori partai menengah, namun masih tetap “bermain” di Liga Utama. Partai-partai ini terlihat mencoba merumuskan ketentuan yang lebih moderat, sebagian menyetujui pilihan Partai Golkar dan PDIP, namun sebagian besar ingin tetap mempertahankan sistem pemilu dan kepartaian pada pemilu 2004. Ketentuan menyangkut daerah pemilihan, misalnya, berusaha dipertahankan, mengingat sejumlah keuntungan yang diraih dalam pemilu 2004 lalu.  

Tetapi, dalam persoalan nomor urut, kelompok partai-partai ini berbeda pendapat. Partai Demokrat jelas mendukung keinginan Yudhoyono untuk menghilangkan nomor urut, sementara PKS masih memerlukannya. Demokrat seperti hendak memperbesar kuantitas pemilihnya, terutama untuk ikut mendorong pilpres. PKS lebih berkeinginan mempertahankan mekanisme pengambilan “setengah tertutup” akibat dominasi Majelis Syuro. PKB juga ingin melepaskan diri dari sebutan sebagai partai lokal yang hanya punya basis di Jawa Timur dengan metode memperbanyak daerah pemilihan. 

Ketiga, kelompok partai-partai yang sedang berjuang mempertahankan diri sebagai peserta pemilu 2009. Kelompok ini bisa disebut sebagai partai yang perolehan suaranya dalam pemilu 2004 lalu tidak melewati ketentuan electoral threshold. Partai-partai ini lebih nyaman berkolaborasi dengan kelompok partai menengah, ketimbang “lenyap” di bawah dominasi PDIP-Golkar. Ibarat seseorang yang dinyatakan bersalah dan harus menanggung hukuman dengan tidak boleh menjadi peserta pemilu 2009 nanti, partai-partai ini berkehendak untuk mendapatkan kesempatan kedua.  

Dengan ketiga pengelompokan itu, terlihat kalau penyusunan paket undang-undang politik akan menghadapi perdebatan alot. Namun, melihat kebutuhan untuk menyelesaikan paket undang-undang itu pada tahun ini juga, maka pengelompokan sikap sedari awal ini lebih menguntungkan. Pilihan-pilihan akan lebih sederhana, juga tidak lagi terjebak dengan kejutan-kejutan irrasional yang hanya berdasarkan kepentingan politik semata. Adanya partai-partai yang mencoba menggagas ketentuan gelar Sarjana untuk menjadi syarat pendidikan calon Presiden dan Wakil Presiden memperlihatkan sikap emosional itu. Padahal, dalam banyak perdebatan kalangan intelektual, akademisi dan kolomnis, terdapat ketidak-setujuan yang kuat atas klausulan itu.  

Melajukan Sistem Politik 

Sistem politik Indonesia memang terlalu lamban bergerak. Pada level nasional, terdapat partai-partai politik yang kesulitan memenuhi ambisi mayoritas di parlemen, sekaligus juga ragu untuk membentuk koalisi permanen dalam menyusun regulasi, anggaran dan pengawasan atas masalah-masalah strategis. Pertemuan Medan antara PDIP-Golkar menunjukkan betapa mudahnya partai-partai politik bergerak pada satu arus atau bandul, lantas pada kesempatan berikut melepaskan diri dan malah menyeberang kepada partai politik yang menjadi seterunya. Perilaku elite-elite partai itu tentu melemahkan proses institusionalisasi politik yang lebih kokoh dalam pilihan pendirian.  

Kelambanan itu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Pertemuan pimpinan DPR dengan Presiden di Istana Negara dan Senayan menunjukkan betapa banyaknya waktu yang diberikan hanya untuk menyamakan persepsi. Belum lagi beragam interpelasi yang dicoba digelar oleh DPR, termasuk juga usaha untuk memasuki hak prerogatif presiden dalam rangka reshuffle kabinet. Dan tentunya beragam pertemuan itu disertai menu makan siang atau makan malam yang berbiaya mahal. 

Akibatnya, sistem politik kita terlalu banyak dipenuhi oleh kolesterol dan asam urat. Ia tidak bisa bergerak lincah menangani persoalan-persoalan kemanusiaan yang datang tiap hari. Untuk itu, penataan kembali sistem politik kita menjadi kebutuhan, terutama dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam paket undang-undang politik nanti.  

Hanya saja, kita tentu tidak ingin melihat kalau dengan cara itu proses demokrasi mengalami perlambatan. Kebebasan pilihan-pilihan politik bisa jadi direduksi oleh kepentingan partai-partai politik, dengan isu-isu daerah pemilihan, nomor urut, persyaratan memajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sampai juga menyangkut susunan dan kedudukan legislatif.

Demokrasi substansial bisa jadi akan kehilangan kesempatan menampilkan diri, karena dihimpit oleh demokrasi prosedural dan struktural yang dikendalikan tokoh yang terbatas. Upaya penyederhanaan sistem kepartaian, bisa jadi berdekatan dengan proses pengkarantinaan partai-partai politik, sebagaimana terjadi pada waktu Orde Baru. Tetapi, penyederhanaan itu menjadi relevan apabila dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial.  Untuk itu, isu-isu yang nanti berkembang dalam pembahasan paket undang-undang politik jangan sampai disimplifikasi kearah stabilitas politik dan pembangunan politik.

Ideologi partai politik menjadi penting. Namun, pengelompokan ideologi yang diukur dari prosentase perolehan suara dalam pemilu dan lantas dihukum dengan tidak lagi boleh berkompetisi karena gagal memenuhi angka-angka tertentu adalah bentuk simplifikasi itu.

Persoalan-persoalan keindonesiaan hari ini yang kurang berhasil diselesaikan dengan baik tidak serta merta bersumber dari sistem politik multi-partai, melainkan barangkali berakar pada bidang lain diluar politik, semisal kebudayaan, ilmu pengetahuan, sumberdaya manusia, sampai juga filosofi di bidang perekonomian.  

Dalam usia yang relatif singkat, yakni sejak liberalisasi politik dimulai pada 1999, sebetulnya riwayat sistem politik yang dipakai, berikut ketentuan konstitusi dan undang-undang, baru sewindu. Pemilu 1999 menggunakan sistem yang berbeda, begitu juga dengan pemilu 2004. Apabila perubahan-perubahan dalam pemilu 2009 menjadi teramat radikal, barangkali kita terus melihat betapa demokrasi yang berbasiskan kepada partai-partai politik tidak juga akan berakar. Ia hanya akan mengambang, mengingat setiap saat dilakukan upaya pembonsaian.  

Kita akan lebih senang, apabila kolesterol dan asam urat politik lebih banyak diarahkan kepada persoalan korupsi, mentalitas, dan perilaku politik kalangan elite, ketimbang melemparkan kesalahan kepada sistem politik berikut prosesi memasukinya dalam pemilu. Seideal apapun sistem politik yang dibentuk, akan menghasilkan output yang buruk, apabila penyakit menahun politisi tidak bisa disembuhkan…

Media Indonesia, 7 Juli 2007

Dua kali pertemuan pimpinan DPR dengan Presiden ternyata tidak berbuah kepada kejelasan penyelesaian masalah hubungan antara kedua lembaga negara itu. Pertemuan demi pertemuan itu lagi-lagi bersifat kekeluargaan, karena tidak jelas aturan mainnya. Untunglah, DPR dan Presiden bertemu di Istana Negara dan Senayan, bukan di kompleks Darmawangsa yang mahal itu. Akan semakin melenceng dari tujuan penyelenggaraan negara yang bersih dan sehat, apabila pertemuan itu digelar di tempat-tempat diluar kedudukan lembaga-lembaga negara itu.   

Substansi pertemuan Presiden dengan DPR itu lebih banyak menyimak tentang politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalau diingat, dibandingkan dengan persoalan-persoalan kerakyatan lain, seperti pemberantasan kemiskinan, buta huruf, penyakit, dan laju pertumbuhan ekonomi, maka visi dan misi calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2004 lalu menyangkut politik luar negeri sedikit sekali mendapat perhatian. Begitu juga dengan partai-partai politik yang kurang begitu jelas merumuskan platform dan program kerja menyangkut politik luar negeri. Padahal, salah satu magnet dalam meraih pemilih pada pemilu di sejumlah negara, terutama di Iran dan Amerika Serikat, adalah menyangkut visi-misi atas politik luar negeri itu.  

Tanpa kerangka, konsep, strategi dan bahkan peta persoalan dunia yang lengkap, mustahil bisa menyatukan pendapat tentang politik luar negeri. Namun, apapun yang menjadi pilihan bagi pengedepanan politik luar negeri itu, tetap saja ia merupakan wilayah eksekutif. Dukungan atas resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB adalah wujud dari visi, misi atau platform pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Partai-partai politik yang menghendaki wujud lain, selayaknya memang berkampanye kepada rakyat Indonesia lewat calon presiden masing-masing untuk meraih dukungan politik dalam pemilu 2009 nanti, lantas mengubah pilihan-pilihan politik luar negeri yang dijalankan oleh rezim ini. Cara-cara seperti itu jauh lebih elegan, daripada mengajukan tuduhan betapa rezim ini telah berada di bawah ketiak negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat.  

Dengan cara itupula, “perseteruan” antara Presiden dengan DPR menyangkut Resolusi 1747 dan Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dengan Singapura harus diletakkan dengan upaya penyesuaian antara politik luar negeri pemerintah dengan landasan dan dasar-dasar negara. Rujukan kearah pembukaan UUD 1945, formulasi dalam pasal-pasal UUD 1945, filosofi dalam Pancasila, serta pengalaman historis bangsa Indonesia adalah parameter untuk mengukur seberapa melenceng atau berbelok politik luar negeri Indonesia itu dijalankan oleh pemerintah. Apabila parameter itu tidak digunakan, maka perdebatan apapun pastilah menemui jalan buntu, serta hanya menjadi ritual adu gengsi dan pamor yang kabur substansi dan miskin argumentasi.  

Memberi Masukan 

Sejauh ini, para anggota parlemen menggunakan klaim-klaim politik, antara lain dengan mengatakan “rasa sakit hati Muslim Indonesia” atas Resolusi 1747. Klaim-klaim seperti itu memang  efektif dalam memancing perdebatan, namun menjadi kurang proporsional apabila dikaitkan dengan legitimasi kekuasaan Yudhoyono. Ujian atas kebenaran klaim-klaim itu bisa dilihat dari survei popularitas Yudhoyono dengan pertanyaan khusus menyangkut Resolusi 1747 atau DCA.

Hanya saja, asumsi yang bisa kita ketahui adalah masyarakat Indonesia tidak memiliki kemewahan dalam mendiskusikan soal-soal berat itu. Sudah banyak sekali hasil survei yang menunjukkan bahwa masyarakat lebih peduli kepada isu-isu sektoral di dalam negeri, tinimbang masalah-masalah hubungan bilateral atau multilateral dengan negara lain.  

Sehingga menjadi tanggungjawab kedua belah pihak, yakni Presiden dan DPR, untuk memberikan penjelasan kepada publik tentang tujuan-tujuan di balik perdebatan itu. Akan sangat elegan apabila para anggota DPR memberikan pandangan-pandangan inovatif dan prospektif, dalam memperbaiki politik luar negeri Indonesia. Politik luar negeri adalah bagian dari resonansi politik dalam negeri.

Upaya memberikan masukan atau pertimbangan kepada pemerintah untuk mencari dukungan dunia internasional atas masalah-masalah dalam negeri menjadi lebih relevan.  Persoalan paling krusial yang dihadapi oleh Indonesia adalah bagaimana melakukan diplomasi menyangkut masalah Papua. Kunjungan delegasi PDIP ke Amerika Serikat, misalnya, salah satunya menjernihkan persoalan ini.

Dalam hubungan internasional, selalu saja terjadi model dukungan timbal-balik. Sah-sah saja apabila DPR memberikan saran-saran kepada pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri, termasuk misalnya menjelaskan cara Indonesia memperbaiki kualitas dunia penerbangan yang kini menghadapi krisis kepercayaan. Dengan membangun komunikasi seperti itu, nilai pertemuan antara lembaga kepresidenan dengan DPR menjadi lebih positif dan berkualitas.  

Upaya menarik persoalan hubungan DPR dengan lembaga kepresidenan sebagai masalah pribadi Yudhoyono juga simplifikasi yang tidak perlu. Politik luar negeri bukanlah personifikasi dari pribadi presidennya. Akan sangat memilukan apabila seluruh persoalan diletakkan sebagai masalah pribadi Yudhoyono. Keinginan mempertanyakan dan mengungkap “hubungan telepon” antara Yudhoyono dengan George W Bush pra-persetujuan Indonesia atas Resolusi 1747 juga menunjukkan bagaimana rumitnya posisi Presiden dalam membangun komunikasi dengan para kepala negara lain. Seolah-olah, persetujuan Indonesia atas Resolusi 1747 itu sudah menjadi skandal politik kelas tinggi, sehingga memancing sikap investigatif kalangan parlemen.  

Dalam konteks yang lebih luas, tidak menjadi persoalan juga apabila DPR menyatakan “kasus” persetujuan Indonesia atas Resolusi 1747 atau DCA itu sebagai skandal politik luar negeri Indonesia. Apa memang itu yang akan diputuskan? Dengan sikap seperti itu, parlemen bisa membentuk komite-komite khusus untuk melakukan pengusutan, terutama Komisi I DPR. Eksperimen seperti ini akan lebih baik, karena berlangsung dalam kelembagaan DPR dan menjadi bagian dari riwayat DPR dalam era demokratisasi. Jangan sampai interpelasi dan alasan-alasan dibalik keinginan menghadirkan presiden hanya dilihat sebagai taktik hit and run yang tidak memberikan pelajaran ketatanegaraan apapun.  

Memancing Bersama 

Langkah penting lain yang bisa dilakukan oleh Presiden dengan DPR adalah dengan cara melakukan rekreasi dalam fase istirahat Presiden dan fase reses DPR. Suhu politik bisa didinginkan hanya dengan cara menjadikan kegiatan politik itu sebatas fungsi dan tugas jabatan, tetapi bukan masalah pribadi yang berlarut. Sekalipun Soeharto dulu tampil begitu manakutkan, kegiatan memancing yang diikuti oleh sanak keluarga dan orang-orang dekatnya selalu menarik perhatian publik. Sejumlah “satire” politik juga mengemuka, yakni ikan yang didapatkan Soeharto dalam mata pancingnya itu sudah “ditautkan” oleh anggota marinir yang menyelam.  

Politik dalam iklim kebebasan selalu menyisakan beban berat bagi para aktornya. Apalagi anggota masyarakat menjadi kian otonom, tidak lagi bisa dikelompokkan menjadi bagian dari organisasi tradisional berdasarkan kepentingan ideologi, klan, etnisitas, agama atau bahkan ketokohan. Loyalitas publik barangkali hanya akan makin terbatas pada isu-isu strategis, bukan lagi kepada partai, tokoh atau kepada jargon tertentu. Para elite harus menyadari bahwa para individu warga negara bukan lagi seperti sekumpulan robot yang digerakkan dengan remote control. 

Sehingga, sikap rileks dari para penyelenggara negara juga dibutuhkan, sehingga akhir pekan masyarakat luas juga terisi dengan kegiatan-kegiatan rekreatif, bukan berita-berita politik yang menyiptakan mimpi buruk dan sinisme abadi. Alangkah baiknya apabila kegiatan memancing bersama antara tokoh-tokoh politik digelar, bukan kegiatan-kegiatan bakti sosial atau olahraga lain yang bertujuan sebagai ajang kampanye diam-diam. Memberikan sentuhan pribadi kepada hubungan kemanusiaan antar tokoh politik akan mengurangi sikap emosional.

Barangkali, dengan cara memancing itu pula “ikan-ikan besar” berupa penyelesaian masalah-masalah bangsa ikut terkail. Ruang publik-pun menjadi penuh makna…

Seputar Indonesia, 5 Juli 2007 

Tidak sampai seminggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerlihatkan mimik muka yang berbeda. Di hadapan para korban semburan lumpur panas Porong, Sidoarjo, yang datang ke Cikeas, Yudhoyono menangis.  Yudhoyono lantas melihat lagi areal semburan dari udara.  

Sementara, di hadapan para peserta peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, Yudhoyono memperlihatkan kemarahan. Sikap emosional itu dipicu oleh tarian perang para pemuda yang membentangkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS). Bahkan, para pemuda itu juga mengenakan celana dalam RMS. Barangkali mereka belajar dari film-film Hollywood yang dengan enteng mencelana-dalamkan bendera Amerika Serikat, bahkan juga memamerkan untuk penutup aurat perempuan. 

Jakarta memang tidak memberi perhatian kepada RMS. Selama ini, teriakan tentang RMS justru dilakukan oleh para pimpinan Laskar Jihad dalam dan pasca-konflik Maluku. Percampur-adukan antara persoalan identitas RMS dengan masalah-masalah keagamaan itulah yang menyebabkan pemerintah berhati-hati, karena bisa memicu kontroversi yang kontra-produktif.  

Celakanya, kehati-hatian itu justru berujung kepada pengabaian. Terdapat kesan kuat kalau pemerintah jarang melakukan upaya pengisolasian atas persoalan-persoalan separatisme, dengan cara membangun pola komunikasi yang intensif dengan masyarakat. Dari sini, pihak-pihak RMS mengambil keuntungan, termasuk memanfaatkan kelengahan pemerintah, terutama aparatur keamanan.  Dalam balada Yudhoyono kali ini, para penari RMS-pun mengambil kesempatan.

Tentu, terlalu jauh kalau kita melihat bahwa kemampuan para penari itu menunjukkan eksistensi RMS atau bahkan mengancam keselamatan negara dan kepala negara. Sejauh yang bisa kita perhatikan, pola aksi RMS tidaklah dalam bentuk unjuk kekuatan bersenjata, sebagaimana beberapa kali diperlihatkan oleh Organisasi Papua Merdeka. RMS hanya berbentuk balon-balon udara, layang-layang, bendera-bendera, lalu foto-foto yang disebarkan di internet. RMS lebih banyak sebagai kegiatan simbolis, daripada aksi-aksi sporadis yang bisa membahayakan diri para aktivisnya.  

Ketika para penari muncul dalam balutan bendera RMS, berarti panggung sudah diubah kepada ajang kesenian. Perjuangan RMS-pun telah masuk ke ranah kebudayaan. Karena kebudayaan adalah jantung dari seluruh (hasil) capaian manusia, sebagaimana manusia juga menjadi unsur pembentuk kebudayaan, maka RMS sebetulnya telah menegaskan eksistensinya melampaui pola-pola perjuangan bersenjata. Kaum muda yang bergerak (digerakkan?) untuk menari atas nama RMS, tanpa mereka harus bertanya untuk apa dan dengan tujuan seperti apa gerakan itu dilakukan, sesungguhnya berada pada situasi kesadaran yang matang.  

Tanggungjawab Aparat 

Reaksi Yudhoyono atas penampilan para penari itu menunjukkan rasa ketersinggungan besar, bukan hanya kepada para penari, tetapi lebih kepada aparatur pemerintah yang bertanggungjawab atas kegiatan itu. Siapapun pasti merasa ternodai, apabila bendera yang dilarang berkibar langsung diperlihatkan di depan banyak mata. Yudhoyono bukan malah berhasil menjelaskan dengan baik tentang arti penting keluarga dalam kehidupan sekarang, tetapi seluruh perhatiannya tertuju kepada RMS.  

Cara RMS merampas perhatian Presiden, berikut masyarakat nasional dan internasional, terbukti ampuh. Persiapan matang pemerintah dengan pembiayaan besar atas kegiatan di Ambon itu seperti lenyap tanpa arti, dikalahkan oleh persiapan “serabutan” selama tiga kali pertemuan oleh para penari yang bermodalkan penganan tradisional. Pengaruh media menjadi dominan dalam meraih legitimasi bagi RMS. Sementara aparat terlihat kedodoran, kebingungan, saling tuding, bahkan memberikan keterangan bertentangan.  

Apabila setiap kegiatan, kebijakan dan tindakan Yudhoyono menemukan titik-titik perlawanan, bisa diperkirakan betapa gusarnya Sang Presiden. Dalam masalah semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Yudhoyono seolah berlomba dengan begitu banyak tuntutan dan keinginan warga yang disalurkan secara berlainan dengan beragam tokoh. Hampir semua saluran itu berujung kepada nada seru: Yudhoyono harus mengambil tindakan! Tidak lagi mudah bagi Yudhoyono atau siapapun yang menjadi penyelenggara negara hari ini untuk mengatakan bahwa mereka belum menerima laporan lengkap dari bawahan.  

Protes demi protes yang dipertunjukkan oleh warga masyarakat pada setiap panggung yang disediakan untuk Yudhoyono, bisa jadi akan memunculkan sikap defensif dan serba ketertutupan oleh Yudhoyono. Selama ini, Yudhoyono selalu membuka banyak saluran untuk mendengarkan pendapat, laporan dan informasi warga, termasuk dengan membaca koran, membuka kotak pos pengaduan, menerima langsung lewat telepon seluler, sampai menugaskan staf khusus dalam menerima kiriman short message service oleh warga. Rupa-rupanya, beragam saluran itu berbuah kepada berjenis beban dan keluhan yang datang bersamaan. 

Sementara, aparat yang kecewa dan ingin bertindak jumawa, tidak lagi bisa bersikap sembarangan, misalnya dengan melakukan aksi-aksi represif. Para wartawan pasti dengan enteng menulis laporan :”Wajah pelaku yang berdarah usai diperiksa” dan berita semacam itu. Kalangan masyarakat sipil juga akan menurunkan tim-tim independen pencari fakta, sebagaimana terjadi dalam kasus penembakan warga di Pasuruan oleh aparat marinir. Belum lagi anggota legislatif, baik lokal atau nasional, dengan cara memaksimalkan fungsi pengawasan.  

Kehadiran para penari di Ambon dan penembakan warga di Pasuruan, dengan jelas menunjukkan tingkat degradasi profesionalitas aparat. Kuncinya terletak kepada ketidak-tahuan atas perkembangan yang terjadi dalam ranah sosial dan politik. Penataan profesionalisme aparat dengan cara menyuruh mereka kembali ke barak, dalam hal ini tentara dan serdadu, telah memunculkan garis demarkasi yang tidak saling berhubungan. Demokrasi yang membawa arus perubahan dalam masyarakat, ternyata meninggalkan juga persoalan-persoalan disinformasi di kalangan lembaga-lembaga struktural yang ditakuti di masa lalu.  

Kita tentu tidak tahu, dimana ujung dari persoalan-persoalan sporadis sekarang. Yang jelas, balada Yudhoyono ke banyak tempat tidak selalu berakhir dengan rasa bahagia. Beragam usaha dari para warga untuk menarik perhatian Yudhoyono akan terus dilakukan, entah di Ambon, Sidoarjo, dan bagian Indonesia lainnya. Yudhoyono tidak hanya akan berhadapan dengan penari, petani, nelayan, pengungsi, para mahasiswa, tetapi juga elemen-elemen masyarakat lain yang semakin cerdas mengemas aksinya.

Dan Yudhoyono harus bersiap dengan perubahan-perubahan mimik muka lagi, atas apa-apa yang dilihat dan didengarnya…

Harian Jurnal Nasional, 26 Juni 2007

Politik itu kotor, puisi yang membersihkannya, begitu adagium terkenal Presiden Cekozlovakia dan Presiden Ceko, Vaclav Havel. Dan, walau terlambat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyonopun berpuisi:  

Terbanglah wahai kebebasan

Bersama angin dan burung-burung camar di langit biru

Yang melambai dan terus melantunkan dendang dan salam rindu 

Puisi itu dideklamasikan Yudhoyono ketika menghadiri perayaan ulang tahun harian Jurnal Nasional pada 15 Juni 2007 lalu. Tentu, saya tidak hadir dalam acara itu, sekalipun Ramadhan Pohan, sang pemimpin redaksi, mengirimkan undangan via handphone. Namun alangkah sayangnya, peristiwa pertemuan puisi dengan kekuasaan itu tidak diberi makna. 

Sebelum Yudhoyono berpuisi, Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa kali bertemu dan berdialog dengan siswa Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Apapun kata orang, pemandangan ini menunjukkan bahwa ada capaian-capaian kepemimpinan baru yang diluar ranah pertarungan politik. Dalam “tradisi”yang dibangun di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat, peristiwa ciuman dan gendongan kepada anak-anak selalu memiliki sensasi humanistik yang tebal di kalangan tokoh-tokoh kerajaan dan para petinggi pemerintahan.  

Yudhoyono berpuisi dan Kalla bercengkrama dengan anak-anak adalah puncak-puncak dari perilaku politik bernilai tinggi, dibandingkan dengan interpelasi, reshuffle kabinet, atau pemilu dan pilkada. Dunia politik yang kaku, emosional dan seolah hanya menyangkut soal kekuasaan, telah dilumerkan oleh gelak tawa, wajah kikuk, dan celetukan-celetukan spontan. Yudhoyono dan Kalla berubah menjadi manusia biasa, menjadi orang yang sedang belajar atau kakek yang berupaya menjelaskan dunia yang rumit dengan bahasa sederhana.  

*** 

Kehidupan politik memang telah membuat pengap bangsa ini. Bukan hanya media massa yang menghadirkan potret kehidupan politik dalam menu perdetik dan perhari, tetapi juga orang-orang yang menjadikan politik sebagai satu model mata pencaharian. Atas nama politik, para gubernur dengan wakilnya saling mencari titik kelemahan masing-masing, ketika mereka hendak maju secara sendirian dalam pilkada berikutnya. Para anak dan orang tua akan saling bantah atas nama politik, ketika preferensi mereka berbeda.  

Tetapi, kita juga melihat semacam kecanggihan dan kecerdasan di kalangan para elite oligarkis. Mereka melakukan diversifikasi sumberdaya politik di kalangan anggota keluarga dengan cara memasuki partai politik berbeda, berkiprah pada bidang pekerjaan yang tidak sama, bahkan juga memilih ideologi yang berseberangan. Dan itu barangkali atas nama kebebasan yang disuruh terbang oleh Yudhoyono.  

Iya, kita tentu rindu pada sosok-sosok yang berpolitik bukan lagi seperti anak kecil yang sedang mempertahankan mainannya. Demi mainan itu, entah bola atau kelereng, sang anak akan terus memangkunya, menjaganya, bahkan sampai membawa ke kamar mandi, tempat tidur serta mimpinya. Mainan itu adalah karma bagi sang anak. Ia mungkin tidak akan mengerti kalau orang tua memandang mainan itu sebagai hak milik, sebagaimana orang-orang tua itu mendefenisikan politik dan kekuasaan.  

Bagi seorang pengamat politik, kelelahan utama adalah memberikan analisis atas peristiwa politik yang terlihat berbeda dan baru yang dilakukan oleh aktor-aktor lama. Bagaimana memberikan analisis atas pertemuan 12 menit antara Yudhoyono dengan Amien Rais atau antara Taufik Kiemas dengan Surya Paloh atau antara tokoh-tokoh lain? Peristiwa politik yang mengekor kepada elite politik seringkali hanya sebuah pengulangan atau manuver, bahkan bermakna dangkal, karena yang terpampang hanya foto-foto jabat tangan dan peta baru yang sedang ditoreh.  

*** 

Kenaikan harga minyak goreng adalah keluhan utama kaum ibu. Hanya saja, diskusi yang digelar melibatkan kalangan ekonom dengan bahasa yang sulit dimengerti. Entah mengapa, kaum ibu sendiri jarang diajak untuk membicarakan kesulitan yang mereka hadapi. Sulit dipahami, kenapa “ceruk kemanusiaan” ini tidak dilihat oleh para tokoh dalam membangun komunikasi?

Politik menjadi sunyi dari kehadiran kaum ibu. Bahkan, para ibu yang berada di panggung kekuasaan, baik yang menjadi menteri atau yang menjadi istri dari para menteri sampai presiden, lama-kelamaan juga menggunakan bahasa kaum bapak. Misalnya, memberi perintah untuk menghadapi flu burung atau demam berdarah. Benar, yang bicara adalah kaum ibu, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa kaum bapak.  Politik sangat banyak memberi rasa bosan. Kalau perasaan berkuasa kalangan penguasa merambah juga kepada istri-istri atau saudari-saudari atau putri-putri mereka, barangkali yang terlihat adalah rasa bosan yang menyeluruh. Kehadiran Anissa Pohan, menantu Yudhoyono, dalam acara-acara olahraga memberi sisi manusiawi seorang keluarga dekat presiden. Yang layak diperbanyak adalah perilaku dan model hubungan seperti itu dengan masyarakat luas.  

Emha Ainun Nadjib, misalnya, tentu akan merasa gagal ketika anaknya juga melantunkan puisi, menulis esai atau membingkai sebuah peristiwa biasa menjadi pengalaman religi. Maka Ia begitu senang dengan anaknya yang menjadi penyanyi, lalu menghentak anak-anak muda segenerasi.  Puisi Yudhoyono mungkin tidak mampu mengikis habis kekotoran dunia politik. Begitupula dialog Kalla dengan kanak-kanak dan anak-anak yang sudah memiliki handphone. Barangkali, anak-anak itu juga dititipin pertanyaan oleh guru kelas atau orangtuanya, sebagaimana terjadi dalam menjawab Ujian Akhir Nasional di Medan via handphone. Anak-anak yang diubah menjadi robot, entah demi apa.  

Yang jelas, pertemuan Yudhoyono dengan beberapa penyair senior dan Kalla dengan anak-anak, adalah kehadiran dua dimensi. Yudhoyono adalah penguasa yang selalu bagi seniman menjadi simbol hegemoni. Pertemuan antara kebebasan dengan ketidakbebasan. Kalla adalah masa lalu dan masa kini, sementara anak-anak adalah masa kini dan masa depan.  

Dan, semakin banyak para penguasa berpuisi, serta bertemu dengan anak-anak, akan memberi nilai positif bagi negeri ini. Tanpa perlu membuat undang-undang khusus tentang kepenyairan atau tentang anak-anak, langkah-langkah seperti itu memberi oase dalam kedahagaan publik atas kelambanan kinerja penyelenggara negara. Mereka – disana – yang begitu sibuk dengan urusannya sendiri…

Komentar Terbaru

RANI BADRI KALIANDA… pada Website www.indrapiliang.com
RANI BADRI KALIANDA… pada Website www.indrapiliang.com
aninda dessy pada Skandal Seleksi Anggota K…
jajang pada Novel Trengginas ES ITO
radian zikri pada Tinjauan Kritis atas Calon…