Koran Tempo, 14 Agustus 2007
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 mengabulkan tuntutan bahwa proses pencalonan kepala daerah lewat jalur perseorangan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, putusan itu belum bisa diimplementasikan dalam waktu dekat. Dengan keputusan itu, berarti pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan digelar di berbagai daerah wajib mengikutsertakan pasangan calon perseorangan. Tentunya ketentuan-ketentuan teknis pasangan calon perseorangan ini harus diatur lagi, baik melalui revisi UU Nomor 32 Tahun 2004, penyusunan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), penyusunan peraturan pemerintah, maupun keputusan Komisi Pemilihan Umum.
Perdebatan tentang peraturan perundangan menyangkut calon perseorangan ini menjadi marak, setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan. Menurut penulis, sebaiknya pengaturan itu dilakukan lewat perpu. Alasannya, (1) menjaga momentum agar calon perseorangan ini segera diakomodasi dalam proses pilkada di sejumlah daerah yang belum melaksanakan pilkada; (2) menghindari kepentingan partai politik untuk menghambat kehadiran calon perseorangan ini, terutama yang digerakkan oleh sentimen negatif betapa calon perseorangan akan mematikan partai-partai politik; (3) memastikan agar hak-hak perseorangan yang dijamin oleh UUD 1945 itu segera terimplementasi; dan (4) memberikan arah yang jelas sebelum pilkada yang sebenarnya terselenggara.
Agar perpu itu tidak ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, karena bisa dibatalkan oleh DPR apabila tidak mendapat pengesahan, seluruh proses penyusunan perpu itu selayaknya melibatkan anggota DPR dari semua partai politik secara intensif. Pelibatan itu bisa dengan cara mengadakan pertemuan para ahli (expert meeting), konsultasi publik ke pelbagai daerah, seminar, sampai studi kualitatif dengan metode depth interview. Dengan metode-metode seperti itu, sedapat mungkin perpu menjadi jembatan pertemuan beragam kepentingan, sehingga berhasil memetakan persoalan yang bisa jadi datang pasca-perpu ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ajang pertemuan konsultatif atau dialog informal bisa juga digunakan antara pemerintah dan DPR, sembari juga melibatkan pakar yang ahli di bidangnya.
Aceh sebagai rujukan
Sebagai rujukan awal, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bisa digunakan. Pasal 68 ayat 1 menyebutkan calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota. Sementara itu, pasal 68 ayat 2 menyebutkan bahwa dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disertai dengan identitas bukti diri dan disertai dengan pernyataan tertulis. Tentu dibutuhkan beragam perangkat teknis untuk menguji validitas dari bukti-bukti yang diajukan itu.
Apabila partai-partai politik di DPR RI memberikan syarat yang terlalu besar, misalnya dengan syarat sekurang-kurangnya 5 persen, 10 persen, atau apalagi 15 persen dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen wilayah, kesulitan-kesulitan ganda akan ditemui, terutama dalam metode verifikasinya. Syarat 15 persen berlebihan, karena partai politik pun tidak dibebani syarat sebesar itu, sehingga ada klausul tentang partai politik atau gabungan partai politik. Pengalaman pilkada yang sudah dilakukan di 16 provinsi, 242 kabupaten, dan 46 kota menunjukkan bahwa partai-partai politik yang mempunyai kursi atau suara kurang dari 1 persen jumlah pemilih pada pemilu legislatif 2004 juga mempunyai hak mengajukan calon atau pasangan calon, ketika bergabung dengan partai-partai politik lain.
Selain itu, syarat dukungan 3 persen dalam pilkada Aceh bagi calon perseorangan ditempatkan sebagai syarat teknis, bukan syarat substantif. Syarat substantif yang diatur dalam pasal 67 ayat 2 adalah 13 syarat, mulai kewarganegaraan, menjalankan syariat agamanya, taat kepada UUD 1945, sampai tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Jangan sampai para warga negara yang ingin menjalankan hak-hak konstitusionalnya justru dihambat dengan syarat teknis dan politis, yang pasti membutuhkan pembiayaan tidak sedikit, dari menyusun tim pencarian KTP atau tanda bukti diri, melakukan perjalanan ke pelbagai pelosok daerah, membiayai fotokopi, menanggung biaya transportasi dan akomodasi, hingga kebutuhan lainnya untuk mendapatkan surat pernyataan dukungan dari penduduk.
Sementara itu, partai-partai politik yang mengajukan pasangan hanya menggunakan hasil perhitungan suara resmi pemilu legislatif dari Komisi Pemilihan Umum daerah, bukan lewat pengumpulan satu demi satu kartu anggota atau simpatisan partai-partai politik. Apalagi syarat teknis dan politik ini hanyalah satu tahapan dari banyak tahapan yang harus dilalui oleh calon perseorangan.
Dalam penyusunan perpu, pihak-pihak yang bisa dilibatkan juga adalah (1) Departemen Dalam Negeri, terutama tim penyusun UU Nomor 11 Tahun 2006 dan peraturan pemerintah di bawahnya; (2) Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP kabupaten/kota se-Aceh; (3) para calon kepala daerah yang menggunakan jalur perseorangan, baik yang ditetapkan sebagai calon oleh KIP maupun yang gagal menjadi calon; (4) para anggota DPR Aceh (DPRA); (5) para pemantau aktif dalam pilkada Aceh; (5) tokoh-tokoh dan anggota DPR RI yang terlibat dalam penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2006; serta (6) kalangan lain yang ahli di bidangnya. Dengan cara seperti itu, persoalan yang muncul dalam proses pelibatan calon perseorangan dalam pilkada Aceh bisa dipetakan secara lebih baik. Jangan sampai permasalahan yang muncul di Aceh dalam pelaksanaan pilkada lalu, yang melibatkan calon perseorangan, itu justru terulang lagi di daerah-daerah lainnya.
Problem revisi
Apabila yang dilakukan adalah revisi terbatas atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, justru bisa menuai permasalahan lanjutan. Sebagai informasi, Departemen Dalam Negeri sudah mengagendakan revisi total atas UU Nomor 32 Tahun 2004 yang paling banyak disidangkan dalam Mahkamah Konstitusi itu. Menurut rencana, UU Nomor 32 Tahun 2004 ini akan dipecah menjadi tiga UU, yakni (1) UU tentang Pemerintahan Daerah, (2) UU tentang Pemerintahan Desa, dan (3) UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah.
Artinya, revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi bersifat terbatas, karena harus lebih dulu melewati kajian yang lengkap atas pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan selama ini. Pertimbangan-pertimbangan lain yang sempat mengemuka, antara lain posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, yang juga sudah mulai menjadi bahan polemik, akan menjadi masukan positif bagi revisi. Begitu pula dalam kaitannya dengan kesamaan urusan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota yang memicu tumpang-tindih urusan/kewenangan antar dan interpemerintah daerah.
Apabila peraturan teknis itu disusun oleh KPU, kendala-kendala awal juga akan terjadi, terutama menyangkut kapasitas internal yang dimiliki oleh KPU. Sampai sekarang, KPU hanya memiliki tiga orang anggota. Dari segi pengambilan keputusan, akan sulit sekali tiga orang menyusun peraturan teknis yang bernilai sangat penting itu. Persoalan dan pelumpuhan kerja serta kinerja KPU ini tidak terlepas dari tidak adanya keputusan hukum dan politik yang serius menyangkut keberadaan KPU. Ketika Imam Prasodjo dan Mudji Soetrisno mengundurkan diri dari KPU, pemerintah dan DPR kala itu tidak serta-merta mengangkat penggantinya, begitu juga ketika sejumlah anggota KPU dituduh dan dimasukkan ke penjara.
Peraturan yang dikeluarkan KPU biasanya juga terbatas pada pengaturan internal, yakni menyangkut keberadaan organisasi KPU secara nasional. Apabila KPU tetap didesak menyusun dan menetapkan peraturan yang bisa mengikat secara eksternal, apalagi untuk kebijakan yang bobot politiknya tinggi, bisa diperkirakan akan menghadapi persoalan lebih serius, misalnya penolakan oleh pemerintah dan atau DPR. Jadi masuk akal apabila KPU tidak segera merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan ruang bagi KPU mengisi celah kekosongan hukum dan peraturan menyangkut keiikutsertaan calon perseorangan dalam pilkada. Sudah selayaknya perang wacana seputar aturan perundangan ini dihentikan hanya berdasarkan persepsi terbatas menyangkut kepentingan masing-masing.
Komentar Terbaru